Opini

STORA-24 by Anti Kesuma:Teater 50

Dunia ini panggung sandiwara

Cerita yang mudah berubah…

 

Peran yang kocak bikin kita terbahak-bahak

Peran bercinta bikin orang mabuk kepayang…

 

Dunia ini penuh peranan

Dunia ini bagaikan jembatan kehidupan…

 

Mengapa kita bersandiwara

Mengapa kita bersandiwara…

 

Itulah hidup, ibarat dalam sebuah teater drama, tak beda pula seperti sebuah novel. Berisi kisah yang bergulir babak per babak. Bergantian peran sudahlah pasti, yang protagonis sering juga antagonis. Mengalami klimaks-klimaks peristiwa hidup yang menghadirkan jutaan rasa. Dalam berbagai latar kehidupan dan pada berbagai setting keadaan.

Tugas kita mengambil hikmah dari setiap skenario hidup yang telah diperankan. Hingga membentuk sebuah rangkaian harmoni antara bertumbuhnya fisik, berkembangnya potensi diri, dan menajamnya kemampuan akal dan rasa.

Fase kehidupan dapat dikelompokkan seperti sebuah babak di panggung sandiwara. Jika diurutkan dapat dikelompokkan dalam alur masa seperti berikut ini:

  • Fase usia 10 tahunan: Masa tumbuh-kembang
  • Fase usia 20 tahunan: Pencarian jati diri
  • Fase usia 30 tahunan: Masa produktif
  • Fase usia 40 tahunan: Memasuki fase kemapanan
  • Fase usia 50 tahunan: Menyongsong masa tua
  • Fase usia 60 tahunan: Masa menuai dan menebar petuah bijak

Sebenar-benarnya masa tua dapat dikelompokkan pada usia 70 tahunan, hingga 80 tahunan lebih jika beruntung. Bahkan, jika tepat gaya hidup, cerdas pola pikir dan cermat pola makan ditambah takdir menggariskan, ada juga mereka yang hidup hingga seratusan umurnya. Namun, apakah esensi hidup ini hanya sukses bertambah umur saja?

Bagaimana dengan pertanggungjawaban umur itu?

Cuplikan Drama Hidup Wanita Karir Jelita -Jelang Lima Puluh Tahun

Ketika Sutradara menuliskan sebuah skenario untuk seorang wanita karir jelita, tergambarlah tokoh berusia separuh abad lengkap dengan kekayaan rasa yang dialami dalam masa jelitanya. Mulai dari kepanikan akibat perubahan bentuk fisik, fleksibilitas cara berpikir dan sikap sosial, serta maturitas tindakannya.

Menjabarkan letupan-letupan hati dari skenario hidup seorang wanita karir jelita, bagian paling menariknya adalah upayanya untuk tetap jelita secara makna sesungguhnya, yakni ayu paras dan kepribadiannya. Pastinya harapan menjadi ‘cantik lahir-batin’ itu bukanlah keinginan muluk belaka. Namun keinginan yang dapat diwujudkan oleh setiap wanita dengan melakukan upaya-upaya positif berikut ini:

 

Tidak Cukup Melewatinya Saja

Bertambahnya usia semestinya reflek diiringi pertambahan keterampilan hidup. Keterampilan inilah yang membimbing kita pada kemampuan memberi manfaat bagi sekitar kita. Di usia karir jelita sudah banyak manfaat yang mestinya bisa dibagi. Manfaat berupa materi, ilmu dan pengetahuan, dan hasil karya diri. Jelang usia 50 tahun, bukan saat kita untuk menunda lagi berbuat sesuatu yang baik. Mau kapan lagi? Hidup bukan masih seribu tahun lagi lamanya. Mari maknai usia dengan tidak hanya melewati pertambahannya saja, tapi mulai greget jika kita belum juga berbuat arti apa-apa.

Tiada kata terlambat untuk memulai, jangan hadirkan rentetan alasan untuk menunda. Setiap orang dapat memulai gebrakan manfaatnya sesegera mungkin. Mainkan peran kita sekarang juga, buatkan film terbaik kita, hingga kita menjadi tokoh legendaris yang dikenang karena karya manfaatnya. Bukan penikmat hidup melewati umur saja. Wahai para wanita karir, coba tanya pada diri kita masing-masing, apakah lama masa bekerja kita sudah berbanding lurus dengan karya nyata yang kita berikan?

 

Kegaduhan Jiwa Jelita

Pada waktu berkaca di cermin, mungkin sebagian para jelang 50 tahun pernah tersentak ketika mendapati kantung mata yang mulai jelas tampak, pipi yang mulai kelihatan melorot dibanding beberapa waktu sebelumnya, serta bawah dagu yang tak lagi kencang jika dilihat dari sisi samping wajah kita. Belum lagi warna rambut yang mulai bercampur abu-abu dan putih keperakan. Ah… jelita bikin gaduh rasa.

Semua hal di atas merupakan sebagian gambaran yang natural dari perubahan fisik memasuki masa tua awal. Pahami, itu bukan musibah. Itu adalah berkah diberi panjang usia yang ditandai dengan perubahan tampilan raga. Yang perlu dipikirkan adalah apakah perubahan fisik sudah dibersamai dengan peningkatan kualitas diri sebagai bekal hidup di dunia dan akhirat? Karena hakikat kita ada di dunia adalah untuk menebar manfaat, bukan diperdaya syahwat. Jangan sampai kita keliru membaca skenario, nanti bisa salah peran jadinya.

Meski ada fenomena kesimpulan bahwa wanita karir lebih peduli tentang penampilan, namun jangan sampai hasrat ini menghinggapi diri berlebihan. Hingga diri hanya disibukkan dengan kecantikan lahir saja. Jelang menjadi tua, jiwa sudah gaduh bukan kepalang. Seakan raga akan berubah menjadi buruk rupa.  Perbaguslah inner beauty kita dengan prestasi dan amal kebaikan.

 

Membagi Bintang

Masih ingat ketika anak-anak ataupun keponakan kita dulu di bangku TK mendapat bintang dari guru-gurunya? Ketika ia berhasil melakukan sebuah aktivitas dengan baik gurunya memberi stempel bintang 1, 2, 3… di buku aktivitasnya. Betapa girangnya ia pulang, dipamerkannya bintang itu pada teman-temannya, pada ayah-bunda, seperti habis dapat bonus tahunan saja.

Di usia jelita ini, kita bukan lagi berharap mendapatkan ‘bintang’ dari kehidupan. Tapi sudah masanya ‘tangan di atas lebih baik daripada tangan di bawah’, kita lah yang menebar bintang-bintang manfaat kita. Menjadi anak, istri dan ibu yang semakin solehah. Berkontribusi nyata dalam karir yang bermanfaat, bagi sejawatlah minimalnya. Berbagi dari hasil kemapanan usaha kita.

Apapun, sekecil apa juga dan sesederhana apa juga, berikan yang dapat menghadirkan senyum bahagia orang lain sebagai akibat dari pemberian baik kita. Bahkan, sebuah doa yang otomatis kita panjatkan setiap kali kita melihat sebuah pemandangan miris di perjalanan kita, itu juga sebuah pemberian yang bermakna. Semoga malaikat pun turut meng-aminkan doa kita. Dan Allah Yang Maha Kuasa berkenan merubah keadaan yang miris tadi menjadi kebahagiaan. Kebaikan adalah tentang kita dan Tuhan kita, tak perlu tepuk tangan dan puji-pujian orang yang belum tentu tulus sebenarnya.

 

Percikan Kenangan

Yang namanya kenangan pastilah suatu hal yang sudah berlalu. Penting untuk dibicarakan? Boleh saja, sebatas porsi yang wajar. Dalam sebuah pertunjukan drama, kenangan bisa diibaratkan sebagai figuran. Bukan peran utama yang penting, namun penting untuk melengkapi keutuhan unsur kisah yang ditayangkan. Tanpa figuran-figuran, cerita yang bergulir terasa tidak masuk akal karena kurang natural.

Begitupula kenangan, tanpa kenangan kita tidak mendapatkan hikmah dari suatu pengalaman hidup. Seperti kenangan sama mantan, duh… ini yang paling banyak menghinggapi para jelita sepertinya. Ada lagi kenangan kejayaan masa muda. Kenangan atas sebuah kegagalan, kehilangan, kesakitan dan lainnya. Semua percikan kenangan yang menghampiri lembaran hidup kita bukanlah sebuah peristiwa yang teramat penting untuk disikapi sedemikian hebohnya. Tapi cukup dimaknai sebagai penguatan diri dari pengalaman yang sudah berlalu.

Jangan terus hidup dibayangi dengan yang sudah lewat. Bersemangatlah untuk hidup hari ini dan optimis menghadapi masa yang kemudian. Jangan peran utama terkalahkan dengan figuran. Produser bisa gagal produksi film kalau seperti itu jadinya.

Ada untaian celoteh hati yang bersuka ria saat berhasil move on dari kenangan, semoga bisa menyemangati bagi yang masih bolak-balik gagal move on-nya..

 

Aku hidup bersama kenangan

Membayang-bayangiku bagai kembaran, siang malam bergerak bersamaan

Hingga kutanya pada keping hati kecilku, mau apa begini berlama-lamaan?

 

Apakah aku mau menua bersama kenangan,

padahal tak kudapati ia sebagai sandaran renta

Apakah aku mau berberat gundah karena kenangan,

padahal waktu aku menangis ia tak hapuskan airmataku juga

Apakah aku mau melayang di awang-awang karena kenangan masa indah,

padahal hidup hari ini dan masa depan bisa lebih indah

 

Lalu kubungkus kenangan dalam sebuah ruang jiwa yang tenang

Tak membencinya, juga tak memujanya. Hingga kurasa hadir kekuatan yang sesungguhnya

Setelah kenangan tidak lagi memporak-porandakan

 

Pada akhirnya, bagaimanapun perjalanan dan upaya jelang lima puluh tahun kita, 50 tahun adalah sebuah fase hidup saja. Tidak berbeda dengan fase-fase sebelumnya. Yang diperlukan adalah pemahaman bagaimana melalui fasenya dengan ketepatan cara yang nyaman.

Jika dianalogikan hidup sebagai sebuah drama, langkah paling dasar adalah perankan setiap skenario yang diberikan Tuhan dengan sebaik-baiknya. Di setiap babaknya, sesuai alur dan latarnya. Tanpa banyak keluhan apalagi ratapan. Yakin bahwa Tuhan sudah menuliskan dengan benar setiap episodenya.

Kepasrahan dan keikhlasan yang sedalam-dalamnya atas semua peristiwa hidup akan menggiring kita pada kenikmatan hidup dengan rasa suka cita yang anggun. Ketenangan sikap sebagai bentuk syukur diberi panjang umur. Diberi waktu cukup untuk menebar manfaat. Dianugerahi kesempatan yang banyak untuk terus membaguskan diri sebagai bekal ketika dipanggil pulang kembali ke sisi-NYA.

Tersenyumlah wahai teman-teman jelita. Yang sedang sibuk bekerja di rumah, di kantor ataupun membesarkan usaha dimana saja. Yang sedang mengayuh bahtera ataupun sedang menanti jodohnya. Hidup ini bukan tentang banyaknya umur kita. Tapi seberapa yang sudah kita berikan untuk sesama.

Dalam setiap diri melekat kewajiban untuk memberi bagi sebagian lainnya. Dan daya upaya ini bukan beralasan pada jumlah umur kita. Kalau sudah banyak umur berarti sudah terlambat memulai upaya apapun juga. Ah, itu cetek sekali.

Menyongsong jelita dengan berbekal kecakapan hasil tempaan hidup dari masa ke masa, akan membimbing kita menemui makna di setiap fase usia yang kita jalani. Hikmah yang dapat kita jadikan dasar berpikir, bahan bertutur dan pijakan bertindak. Maka sambutlah jelitamu dengan semua terbaikmu. Pintu Teater 50, telah terbuka!

Life begins at fourty

Wise begins at fifty

 

Jelita -jelang 50 tahun

 

Hei wanita jelita,

Jangan hidup melewati umur saja

Tanpa ilmu yang bisa dicecap mereka

Dan tinggalan karya nyata

Berikanlah semampu kamu bisa

Apapun… yang tidak merugikan dunia

 

Hei aku si paruh baya,

Tak ingin hidup seperti recehan saja

Riuh berisik tapi tak kaya makna

Setidaknya aku ingin mengajak sesama

Untuk tetap anggun melewati setiap masa

Bentuk syukur kita diberi panjang usia

 

Antologi inspirasi “Suara Jelita” (Anti Kesuma), 2019.

 

Bagikan ..

Noor Fatimah

Bagikan ..