P E L U H
Peluh adalah salah satu wujud dari lelah.
Hampir di semua upaya berkawan peluh lelah, begitulah konsistensi tegar diuji nyata.
Ada satu ingatan pelajaran masa kecil yang masih selalu lekat di setiap bulir peluh lelah yang saya tuai, yakni pesan orang tua saya yang mengajarkan bahwa hidup itu jangan takut capek, jangan alergi keringatan, weww… sekilas langsung kebayang menimba air di sumur di bawah terik matahari yang cetar. So pasti capek dan keringatan itu.
Namun, ilustrasi ekstrim di atas tak sepenuhnya sekadar ilustrasi saja. Saya pernah mengalami drama peluh pada waktu keluarga kami pertama kali menginjakkan kaki di ibu kota dari kampung halaman kami di Jawa sana. Kala itu di bagian utara Jakarta Tahun 80-an air bersih masih susah, sedangkan sumur yang ada nyaris tak layak dikonsumsi karena airnya yang berbau dan berwarna karena banyak mengandung unsur kimia yang tidak baik untuk kesehatan. Lebih sering dipakai hanya untuk menyiram jalanan depan rumah yang saat siang hari bagaikan cermin pantulan panasnya, terikkk… Maklum, karena itu perumahan baru, belum tumbuh pohon-pohon rindang.
Beruntung, di perumahan baru yang kami tinggali ini dibuatkan tower air dimana saat malam hari air bersih dialirkan, hanya pada waktu malam setiap harinya. Tapi saya kurang paham bagaimana ceritanya ada titik air bersih di situ, karena kala itu saya masih terlalu belia untuk menanyakan hal-hal berat semacam itu. Yang saya tahu cuma seputar main karet, galasin sama jajan Chiki yang suka ada hadiah di dalam kemasannya.
Jika malam tiba, sudah barang tentu lokasi titik air bersih ini menjadi spot favorit warga dari semua kalangan usia, tua-muda giat mengantri untuk menciduk air bersih ke dalam jerigen, lalu diangkut ke rumah dengan gerobak masing-masing. Seru bagi saya yang waktu itu masih duduk di bangku SD kelas 1. Tapi entah ya apakah seru juga bagi para orang tua yang beberapa sudah mulai rentan diserang sakit pinggang seperti beberapa diantara kita saat ini. Namun, dalam kesabaran menimba air setiap malam, seluruh warga kompak mengupayakan agar di komplek tempat kami tinggal ini dapat sambungan pipa air bersih.
Alhamdulillah perjuangan dan kesabaran menemui takdir baiknya, kondisi susah air bersih itu akhirnya teratasi dengan masuknya saluran air bersih pemerintah yang bisa dikonsumsi ke rumah masing-masing. Pastinya dengan tarif berlangganan bukan gratis. Maka, gardu air itu tinggal jadi kenangan keriuhannya. Semua cerita malam-malam seru itu seakan terserap di dalam tungku gardu air yang masih berdiri tenang, seperti turut berbahagia menyaksikan kemerdekaan warga komplek yang kini bisa damai menikmati setiap aliran air yang masuk ke dalam pipa-pipa di rumahnya. Peluh menimba air sudah berganti dengan senyum cerah nan segar.
Jadi, begitulah hidup mestinya dijalani, diisi dan dinikmati, dengan perjuangan dan keyakinan akan sampai pada tujuan yang dicita-citakan. Bersama-sama atau kadang juga sendirian. Pantang menyerah sebelum cita-cita terejawantah. Biar peluh ikhtiar itu jadi saksinya. Tanpa ketekunan dan kesabaran dalam berusaha, kisah sukses bagai wacana yang akan tinggal jadi wacana selamanya.
ak/10 Maret 2021