Generasi Terputus: Mengapa Sebagian Anak di Jakarta Terancam Masa Depannya?
Heni Mulyani
Mengapa di Jakarta, yang dikenal sebagai pusat kemajuan dan pendidikan, masih banyak anak-anak yang tidak dapat menikmati bangku sekolah?
Fenomena Anak Tidak Sekolah (ATS) di DKI Jakarta bukanlah sekadar data statistik belaka. Di balik angka-angka, tersimpan kisah pilu anak-anak yang terputus dari pendidikan formal, di mana seharusnya mereka bisa tumbuh dan berkembang. Kenyataannya, lebih dari 4% anak usia sekolah di Jakarta masih masuk dalam kategori ATS. Fenomena ini tidak dapat dipandang sebelah mata, terlebih lagi ketika regulasi sudah ada dan program pencegahan serta penanganan juga sudah diterapkan. Mengapa masalah ini terus menghantui Jakarta? Bagaimana kita bisa lebih efektif dalam menanganinya?
ATS dan Regulasi: Apakah Sudah Efektif?
UUD 1945 Pasal 31 ayat (1) dan (2), UU Sisdiknas No 20 tahun 2023 dan PP dan Permendikbud tentang SPM telah mengamanahkan bahwa pemerintah wajib menjamin pendidikan bagi seluruh warga tanpa terkecuali apapun kondisinya. Pemerintah Provinsi DKI Jakarta sebenarnya tidak tinggal diam. Sejumlah regulasi dan kebijakan telah dirancang untuk mengatasi fenomena ATS, salah satunya adalah Peraturan Gubernur No. 82 Tahun 2019 tentang Pencegahan dan Penanganan Anak Tidak Sekolah. Melalui regulasi ini, pemerintah berupaya untuk memastikan seluruh anak di Jakarta mendapatkan hak dasar mereka untuk pendidikan. Program tersebut melibatkan berbagai pihak, mulai dari dinas pendidikan, dinas sosial, hingga masyarakat.
Namun, meskipun sudah ada regulasi, pertanyaannya adalah: apakah penerapannya sudah optimal? Di beberapa wilayah, regulasi ini belum sepenuhnya diterapkan dengan baik. Banyak anak yang berasal dari keluarga kurang mampu atau mengalami masalah sosial masih kesulitan mengakses pendidikan. Selain itu, kurangnya kesadaran di tingkat masyarakat tentang pentingnya pendidikan dan peran mereka dalam pencegahan ATS juga menjadi kendala yang cukup serius.
Selain regulasi, ada inisiatif lain yang dilakukan pemerintah seperti program “Ayo Sekolah” yang bertujuan menekan angka ATS dengan memberikan bantuan berupa biaya pendidikan dan kebutuhan dasar bagi anak-anak yang kurang mampu. Namun, pada kenyataannya, program ini belum dapat menjangkau seluruh kelompok ATS di Jakarta. Hal ini disebabkan oleh berbagai faktor, seperti distribusi informasi yang tidak merata, kurangnya pengawasan pelaksanaan di lapangan, hingga kendala administratif.
Kekerasan Terhadap Anak: Salah Satu Faktor Utama Penyebab ATS
Salah satu penyebab meningkatnya ATS di DKI Jakarta adalah kekerasan terhadap anak, baik secara fisik, verbal, maupun emosional. Data dari Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) menunjukkan bahwa kekerasan terhadap anak, baik di rumah maupun di sekolah, memiliki dampak yang signifikan terhadap keputusan anak untuk keluar dari lingkungan sekolah. Banyak anak yang menjadi korban kekerasan, terutama di lingkungan keluarga, memilih untuk tidak sekolah karena trauma yang mendalam.
Anak-anak yang mengalami kekerasan di rumah kerap kali kehilangan motivasi dan semangat untuk melanjutkan pendidikan. Mereka merasa terisolasi, tertekan, bahkan takut untuk bersekolah. Kekerasan dalam bentuk verbal dan emosional yang diterima di sekolah, seperti perundungan (bullying), juga menjadi faktor signifikan yang mendorong anak-anak untuk putus sekolah. Mereka merasa tidak aman di sekolah dan lebih memilih untuk menghindarinya, meskipun ini berarti menghentikan pendidikan mereka.
Selain itu, ada korelasi yang erat antara kemiskinan, kekerasan, dan ATS. Dalam banyak kasus, keluarga miskin yang kesulitan secara ekonomi cenderung terlibat dalam situasi yang penuh stres, yang kemudian memicu terjadinya kekerasan terhadap anak. Keluarga yang berada dalam kondisi ini sering kali tidak mampu memberikan dukungan emosional maupun finansial yang memadai untuk anak-anak mereka, yang akhirnya berdampak pada akses anak terhadap pendidikan.
Perlunya Sinergitas Lintas Sektoral: Apa yang Bisa Dilakukan?
Mengatasi masalah ATS di DKI Jakarta tidak bisa hanya mengandalkan regulasi semata. Pendekatan yang lebih komprehensif perlu dilakukan dengan melibatkan seluruh elemen masyarakat, mulai dari pemerintah, keluarga, sekolah, hingga organisasi masyarakat sipil. Ada beberapa langkah strategis yang bisa diambil untuk mencegah dan menangani ATS secara lebih efektif:
1. Penguatan Sosialisasi dan Implementasi Regulasi
Regulasi yang sudah ada perlu disosialisasikan secara lebih masif dan diterapkan dengan konsisten. Dinas Pendidikan dan instansi terkait perlu meningkatkan pengawasan terhadap penerapan program-program pencegahan ATS, termasuk memastikan bahwa setiap anak di Jakarta mendapatkan akses pendidikan yang memadai.
2. Peningkatan Peran Masyarakat dan Keluarga
Keluarga dan masyarakat perlu lebih dilibatkan dalam program pencegahan dan penanganan ATS. Pendidikan kepada orang tua mengenai pentingnya pendidikan anak dan dampak negatif kekerasan terhadap perkembangan anak sangatlah penting. Selain itu, tokoh masyarakat dapat berperan dalam mendorong perubahan sosial di lingkungannya, menciptakan lingkungan yang lebih aman dan mendukung pendidikan.
3. Penanganan Kasus Kekerasan Terhadap Anak Secara Holistik
Pemerintah dan lembaga terkait perlu menangani kasus kekerasan terhadap anak secara menyeluruh, dengan memastikan korban mendapatkan dukungan psikologis dan sosial agar mereka dapat kembali ke sekolah. Pendekatan ini tidak hanya akan mengurangi ATS, tetapi juga mencegah terjadinya kekerasan lebih lanjut.
4. Peningkatan Kualitas Sekolah dan Lingkungan Belajar yang Aman
Sekolah harus menjadi tempat yang aman dan ramah bagi semua siswa. Program anti-perundungan harus diterapkan secara tegas dan konsisten. Sekolah juga perlu memberikan perhatian khusus pada anak-anak yang rentan terhadap kekerasan dan perundungan, serta memastikan bahwa mereka merasa nyaman untuk belajar di lingkungan sekolah.
Penutup: Harapan untuk Masa Depan
Menghadapi tantangan ATS di DKI Jakarta membutuhkan kerjasama yang solid dari lintas sekotral. Peran regulasi, intervensi dari pemerintah, serta dukungan masyarakat menjadi kunci dalam memutus rantai ATS dan memastikan bahwa semua anak di Jakarta dapat menikmati hak mereka atas pendidikan. Tantangan ini memang tidak mudah, tetapi dengan komitmen yang kuat dan langkah-langkah strategis yang tepat, kita bisa berharap bahwa suatu hari nanti, tidak ada lagi anak di Jakarta yang harus terputus dari sekolah karena kekerasan atau kondisi sosial-ekonomi.
Pada akhirnya, pendidikan adalah hak setiap anak. Dan kita, sebagai masyarakat yang peduli, memiliki tanggung jawab untuk memastikan bahwa hak tersebut terpenuhi tanpa pengecualian. No one left behind !