Opini

Uswatun Hasanah: “Anakku Melamarku”

Dan, perempuan yang memeluk bayi di dadanya berkata, bicaralah tentang anak-anak.

Dan, katanya:

Anakmu bukanlah anakmu.

Mereka adalah putra putri kerinduan kehidupan terhadap dirinya sendiri.

Mereka terlahir lewat dirimu, tetapi tidak berasal dari dirimu.

Dan, meskipun mereka bersamamu, mereka bukan milikmu.1

 

 

Saat itu kini tiba,

Ia berkata, “Mama aku ingin mengajukan presentasi lamaranku,”

Sesaat aku termangu melihat anak pertamaku telah tumbuh menjadi gadis remaja.

…..

Aku terdiam, mengernyitkan dahi dan  menahan rasa ingin tahu tentang arah pembicaraan selanjutnya.

Dengan cepat ia membuka ipad yang sejak tadi digenggamnya.

 

“Mama, ini pilihanku…”

“Alasan aku memilihnya karena…”

“Aku ingin tinggal di…”

“Biaya yang akan dibutuhkan…”

“Aku akan menjadi…”

 

Slide demi slide kakak perlihatkan padaku. Begitu meyakinkan!

Tampaknya kakak sudah mempersiapkan dirinya.

Menunjukkan kepadaku bahwa ia bersungguh-sungguh dengan pilihan hatinya.

Menyatakan bahwa itulah impian hidupnya.

 

…..

 

Kau boleh memberi mereka cintamu, tetapi bukan pikiranmu.

Sebab, mereka memiliki pikiran sendiri.

Kau bisa memelihara tubuh mereka, tetapi bukan jiwa mereka.

Sebab, jiwa mereka tinggal di rumah masa depan, yang takkan bisa kau datangi, bahkan dalam mimpimu.

Kau boleh berusaha menjadi seperti mereka, tetapi jangan menjadikan mereka seperti kamu.

Sebab, kehidupan tidak bergerak mundur dan tidak tinggal bersama hari kemarin.1

 

…..

 

Sebagai orang tua,

Pengalaman manis getirnya kehidupan pribadi maupun orang lain seringkali menjadi standar acuan untuk direfleksikan terhadap anak.

Pun saat mereka telah memasuki etape baru di dunia pendidikan yaitu memilih perguruan tinggi dan jurusannya.

Kekhawatiran akan masa depan membentuk pola pikir penentuan jurusan dan cita-cita sebaiknya yang aman… seperti orang kebanyakan yang telah sukses.

 

Selain itu masa transisi di usia belasan rawan dengan “Krisis Identitas”.

Dimana, seseorang anak belum memiliki pemikiran yang matang, belum tahu arah dan tujuan hidup, sehingga menggiring orangtua menarik kesimpulan cepat dan berperan sebagai “Komandan penentu arah kehidupan” dan mengesampingkan minat dan keinginan anak.

 

“Jangan sampai susah, pilih yang ini jangan yang itu,”

Kemudian berbagai alternatif jurusan yang bermuara pada profesipun kami tawarkan.

 

Tapi, ia kukuh dengan pendapatnya.

“Benar nak kamu yakin dengan pilihanmu?”

—– “Iya Ma, aku tahu diriku,”

—– “Kelebihanku…,”

—– “Keinginanku…,”

Ia mulai berbicara tentang self asesment atas potensi,minat dan prestasi yang pernah diraih.

Ia bahkan menyampaikan pemikirannya tentang tujuan hidup yang ingin dicapai hingga jangka panjang.

Ia telah menghitung peluang dan tantangan yang akan dihadapi.

Dan ia mengingatkan tentang value of life

Sejatinya belajar tidak hanya tentang meraih nilai tinggi secara instan,

tetapi merupakan proses panjang yang akan akrab dengan lelah, tanggung jawab namun menyenangkan.

 

—– “Aku akan mengusahakan yang terbaik untuk mimpiku,”

—– “Inilah proposal cita-citaku.. Alih-alih menyiapkanku memilih jurusan aman dan impian setiap orang tua, dukung aku menjadi pejuang yang percaya akan mimpi, harapan, proses dan perjuangan mencapainya”

—- “Kuatkan aku Ma untuk menghadapi kehidupan sesungguhnya, RIDHOI aku dan doa terbaik untukku..”

 

Penutup presentasi yang indah.

Aku terdiam, kembali memandanginya,

Tertegun, baru menyadari ia telah melakukan riset “rencana hidup” jauh melebihi aku.

Dan aku seolah diingatkan kembali bahwa ia bukan lagi “bocah!”

Ia memiliki pemikiran yang merdeka dan mimpinya sendiri…

 

Pilihan yang kami anggap “terbaik” menjadi tampak tergerus zaman.

Sementara, keraguan tentang sudut padangnya untuk menentukan pilihan sendiri mulai luruh.

Pemikirannya jauh dari krisis identitas remaja.

Ia tampak yakin dengan cita-cita yang ia inginkan “tampil berbeda” dan “kekinian”.

 

 

“Nak, Mama bukan pemilikmu,”

“Mama hanya penjaga amanah, pemanjat doa-doa kebaikan untuk anak tercinta ke Sang  Maha Kuasa”

 

“Jika kakak telah mampu mengukur potensi diri dan mengetahui persiapan yang harus dilakukan, dan kakak bahagia menjalaninya, raihlah mimpimu,”

“Tugas orangtua mengawal dan mengarahkan,”

“Tugas kakak  fokus,berusaha, bertanggung jawab dan jangan menyerah, dan apapun hasil akhirnya adalah yang terbaik menurut Sang Maha Rahman.”

 

Dan akhirnya… kakak yang kini di kelas XII tersenyum bahagia.

Tentang Lamaran Masa Depannya yang telah diterima.

 

(Segala Puji dan terima kasih pada Sang Maha Pencipta

Betapa cepat kehidupan telah menunjukkan ia berkembang menuju dewasa…)

 

 

Kau adalah busur yang meluncurkan anak-anakmu sebagai panah hidup.

Pemanah mengetahui sasaran di jalan yang tidak terhingga, dan Ia melengkungkanmu sekuat tenaga-Nya agar anak panah melesat cepat dan jauh.

Biarlah tubuhmu yang melengkung di tangannya merupakan kegembiraan.

Sebab, seperti cinta-Nya terhadap anak panah yang melesat, Ia pun mencintai busur yang kuat.[1]

 

—-Selamat Hari Anak Nasional—

[1] “Puisi Kahlil Gibran Tentang Anak: Anakmu Bukanlah Anakmu.” 24 Jan. 2021, https://www.jadipunya.id/puisi-kahlil-gibran-tentang-anak/. Accessed 26 Jul. 2022.

 

   

Bagikan ..

Noor Fatimah

Bagikan ..